Kamis, 15 Januari 2015

Nasab



Dialah Kan’an. Pemuda yang dalam sejarah agama terkenal sebagai pendurhaka murakkab: durhaka kepada Allah dan kepada Nuh, ayahnya. Kepada Allah, Kan’an tak mau menyembah. Kepada Nuh, Kan’an tak mau patuh. Alih-alih seiman dan bergandeng tangan, saat muncul tawaran untuk naik bersama rombongan bahtera saat menghadapi adzab pun dia tak mempedulikan. “Ayah naik saja bersama kaummu! Akan kucari sendiri keselamatanku” Demikian kesombongan dan kebodohan Kan’an seperti yang dikutip sejarah....

Bagi orang berpikiran rasional, dia tak pantas menjadi putra salah seorang nabi. Pantasnya ‘kan seperti ini: anak baik dari orang tua baik; anak buruk dari orang tua buruk; anak patuh dari orang tua patuh; anak durhaka dari orang tua durhaka. Klop! Namun kehendak Allah tak harus sesuai dengan nalar pikiran makhluk. Terhadap kondisi Kan’an dan Nuh yang paradoks, sebenarnya tersembunyi pelajaran penting. Antara lain bahwa dianugerahkan kepadanya anak durhaka adalah bukti bahwa Nuh memang pantas disebut rasul Ulil Azmi.
Bagaimana tidak? Selama kurang lebih lima ratus tahun berdakwah, Nuh hanya mendapati tak lebih dari 100 pengikut. Ditambah lagi istri dan anaknya justru berseberangan iman dengan menyembah sesembahan mereka: Wadd, Suwa, Yaghut, Ya’uq dan Nasr. Menghadapi semuanya, dia tetap tegar dan sabar. Cobalah bandingkan dengan pendakwah masakini. Mereka justru didatangkan berdakwah ke luar negeri. Dengan imbalan yang siap menanti.
Pelajaran lain adalah bahwa kedurhakaan Kan’an menunjukkan bahwa tak semua orang suci mampu mensucikan orang terdekatnya. Sekilas, kisah Kan’an terasa menampar muka manusia tabah seperti Nabi Nuh. Dalam bahasa sederhana, muncul ucapan kepada Nuh: “Nuh, Kau itu rapuh. Lihat, ajaran yang kau gembor-gemborkan ke hati banyak orang justru tak dapat melewati telinga anakmu sendiri. Dia itu darah dagingmu, Nuh. Dalam badannya mengalir darahmu. Dia ibarat dirimu sendiri. Bila terhadap anakmu sendiri saja Kau tak bisa bina, bagaimana mungkin Kau bisa membina kaummu? Pantas saja tak banyak orang mengikutimu. Kau masih rendah, Nuh”
Sebagai seorang ayah, Nabi Nuh sudah melaksanakan semua kewajibannya. Bermacam cara serta keteladanan dia jalankan demi keimanan anaknya. Dari saat Kan’an masih berada dalam kandungan, dia senantiasa memanjatkan permohonan-permohonan positif bagi si calon buah hatinya. Klimaksnya, saat Kan’an ditelan banjir bandang, dia tetap memohon keselamatan. Namun apa jawaban yang dia terima? “Tidak. Meski dia anakmu, Tapi dia tidak termasuk golonganmu”
Pesan yang patut diambil dari kisah ini adalah tidak adanya signifikansi nasab antara Nabi Nuh dan putranya. Tak ada hubungan sama sekali antara keturunan dan kualitas diri seseorang. Meski termasuk dalam struktur sistemik turunan dari seorang saleh, Kan’an tetap tidak terselamatkan.
Saya beserta teman pernah menyaksikan perilaku orang yang mengelu-elukan kebesaran ayahnya. Ayahnya adalah seorang tokoh setempat sementara ayah saya dan teman tadi hanyalah orang biasa. Saat sedang dihadapkan sebuah problem sosial, dia menyangkutpautkan keberadaan orang tua. Menurutnya, kami akan kewalahan mengurai benang kusut masalah tersebut karena, katanya, ayah kami orang awam. “Berbeda dengan ayahku yang sudah banyak makan garam,” katanya. Saya hanya tersenyum kecut. Kok masih ada pola pikir dangkal di zaman sekarang. Bila yang bertindak adalah ayah kami masing-masing, tentu kalimat itu bisa diterima. Tapi ini lain. Ini urusan kami bertiga. Kami lah yang akan berhadapan. Bukan yang lain. Dari mana dapat diketahui kualitas diri hanya melalui pribadi seorang ayah. Mustahil!
Nasab, menurut orang Jawa, memang mempengaruhi tingkat keberhasilan seseorang. Dalam kehidupan sosial, kita bisa saja mendapatkan posisi terhormat karena faktor keturunan: Status tinggi yang muncul tanpa kita minta. Semisal, ayah kita seorang raja atau pemilik perusahaan besar, kehormatan dan kenyamanan hidup akan datang seketika. Semua akan berjalan selama ayah kita masih ada. Lantas bagaimana jika dia sudah tiada? Sejahterakah negeri atau perusahaan kita? Keduanya akan hancur jika sang pemegang hanya bernostalgia pada nama besar ayah.
Itu karena nasab bukan satu-satunya alasan yang dapat dibanggakan. Kualitas seseorang masih pula dipengaruhi oleh nasib dan nisab. Adakalanya pengetahuan dan pengalaman terbatas, tapi justru keberuntungan berpihak tanpa diduga. Ini yang dimaksud dengan nasib. Sedangkan nisab merujuk pada kegigihan usaha. Orang besar itu orang yang tangguh menghadapi cobaan dan ujian kehidupan serta belajar dan berproses secara terus menerus. Demikianlah makna dari ungkapan arab al barakah biqadri al kadah. Keberkahan disebabkan karena tingkat kesulitan.
Pada kesempatan ini perlu pula merenungi ucapan Imam Ghazali: manusia tak perlu mencari-cari kebesaran ayahnya. Ini dimaksud agar tidak terjadi sikap saling membanggakan struktur keturunan hingga mengakibatkan kemandegan diri: berhenti berproses. Sebaliknya, manusia harus mengawali menciptakan tata turunan baik agar dapat menjadi teladan bagi generasi selanjutnya.
Maka jika ada jenis orang yang masih bersikeras menyebut-nyebut kebesaran ayah-ibunya, ada baiknya kita tengokkan kisah Kan’an di atas. Dengan kesalehan maksimum yang ada, Nuh masih mendapati putranya menjelma menjadi pribadi durhaka. Lantas bagaimana dengan ayah kita, yang tak ada keunggulan sama sekali bila dibanding Nabi Nuh? Lebih lanjut, bila kita sendiri hanya pribadi yang dekat pada keburukan, seperti apa pula anak-anak kita mendatang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar