Dialah Kan’an. Pemuda
yang dalam sejarah agama terkenal sebagai pendurhaka murakkab: durhaka kepada
Allah dan kepada Nuh, ayahnya. Kepada Allah, Kan’an tak mau menyembah. Kepada
Nuh, Kan’an tak mau patuh. Alih-alih seiman dan bergandeng tangan, saat muncul
tawaran untuk naik bersama rombongan bahtera saat menghadapi adzab pun dia tak
mempedulikan. “Ayah naik saja bersama kaummu! Akan kucari sendiri
keselamatanku” Demikian kesombongan dan kebodohan Kan’an seperti yang dikutip
sejarah....
Bagi orang berpikiran
rasional, dia tak pantas menjadi putra salah seorang nabi. Pantasnya ‘kan
seperti ini: anak baik dari orang tua baik; anak buruk dari orang tua buruk;
anak patuh dari orang tua patuh; anak durhaka dari orang tua durhaka. Klop!
Namun kehendak Allah tak harus sesuai dengan nalar pikiran makhluk. Terhadap
kondisi Kan’an dan Nuh yang paradoks, sebenarnya tersembunyi pelajaran penting.
Antara lain bahwa dianugerahkan kepadanya anak durhaka adalah bukti bahwa Nuh
memang pantas disebut rasul Ulil Azmi.
Bagaimana tidak? Selama
kurang lebih lima ratus tahun berdakwah, Nuh hanya mendapati tak lebih dari 100
pengikut. Ditambah lagi istri dan anaknya justru berseberangan iman dengan
menyembah sesembahan mereka: Wadd, Suwa, Yaghut, Ya’uq dan Nasr. Menghadapi
semuanya, dia tetap tegar dan sabar. Cobalah bandingkan dengan pendakwah
masakini. Mereka justru didatangkan berdakwah ke luar negeri. Dengan imbalan
yang siap menanti.
Pelajaran lain adalah
bahwa kedurhakaan Kan’an menunjukkan bahwa tak semua orang suci mampu
mensucikan orang terdekatnya. Sekilas, kisah Kan’an terasa menampar muka
manusia tabah seperti Nabi Nuh. Dalam bahasa sederhana, muncul ucapan kepada
Nuh: “Nuh, Kau itu rapuh. Lihat, ajaran yang kau gembor-gemborkan ke hati
banyak orang justru tak dapat melewati telinga anakmu sendiri. Dia itu darah
dagingmu, Nuh. Dalam badannya mengalir darahmu. Dia ibarat dirimu sendiri. Bila
terhadap anakmu sendiri saja Kau tak bisa bina, bagaimana mungkin Kau bisa
membina kaummu? Pantas saja tak banyak orang mengikutimu. Kau masih rendah, Nuh”
Sebagai seorang ayah,
Nabi Nuh sudah melaksanakan semua kewajibannya. Bermacam cara serta keteladanan
dia jalankan demi keimanan anaknya. Dari saat Kan’an masih berada dalam
kandungan, dia senantiasa memanjatkan permohonan-permohonan positif bagi si calon
buah hatinya. Klimaksnya, saat Kan’an ditelan banjir bandang, dia tetap memohon
keselamatan. Namun apa jawaban yang dia terima? “Tidak. Meski dia anakmu, Tapi
dia tidak termasuk golonganmu”
Pesan yang patut
diambil dari kisah ini adalah tidak adanya signifikansi nasab antara Nabi Nuh
dan putranya. Tak ada hubungan sama sekali antara keturunan dan kualitas diri
seseorang. Meski termasuk dalam struktur sistemik turunan dari seorang saleh,
Kan’an tetap tidak terselamatkan.
Saya beserta teman
pernah menyaksikan perilaku orang yang mengelu-elukan kebesaran ayahnya.
Ayahnya adalah seorang tokoh setempat sementara ayah saya dan teman tadi
hanyalah orang biasa. Saat sedang dihadapkan sebuah problem sosial, dia
menyangkutpautkan keberadaan orang tua. Menurutnya, kami akan kewalahan
mengurai benang kusut masalah tersebut karena, katanya, ayah kami orang awam.
“Berbeda dengan ayahku yang sudah banyak makan garam,” katanya. Saya hanya
tersenyum kecut. Kok masih ada pola pikir dangkal di zaman sekarang. Bila yang
bertindak adalah ayah kami masing-masing, tentu kalimat itu bisa diterima. Tapi
ini lain. Ini urusan kami bertiga. Kami lah yang akan berhadapan. Bukan yang
lain. Dari mana dapat diketahui kualitas diri hanya melalui pribadi seorang
ayah. Mustahil!
Nasab, menurut orang
Jawa, memang mempengaruhi tingkat keberhasilan seseorang. Dalam kehidupan
sosial, kita bisa saja mendapatkan posisi terhormat karena faktor keturunan:
Status tinggi yang muncul tanpa kita minta. Semisal, ayah kita seorang raja
atau pemilik perusahaan besar, kehormatan dan kenyamanan hidup akan datang
seketika. Semua akan berjalan selama ayah kita masih ada. Lantas bagaimana jika
dia sudah tiada? Sejahterakah negeri atau perusahaan kita? Keduanya akan hancur
jika sang pemegang hanya bernostalgia pada nama besar ayah.
Itu karena nasab bukan
satu-satunya alasan yang dapat dibanggakan. Kualitas seseorang masih pula
dipengaruhi oleh nasib dan nisab. Adakalanya pengetahuan dan pengalaman
terbatas, tapi justru keberuntungan berpihak tanpa diduga. Ini yang dimaksud
dengan nasib. Sedangkan nisab merujuk pada kegigihan usaha. Orang besar itu
orang yang tangguh menghadapi cobaan dan ujian kehidupan serta belajar dan
berproses secara terus menerus. Demikianlah makna dari ungkapan arab al barakah biqadri al kadah. Keberkahan
disebabkan karena tingkat kesulitan.
Pada kesempatan ini
perlu pula merenungi ucapan Imam Ghazali: manusia tak perlu mencari-cari
kebesaran ayahnya. Ini dimaksud agar tidak terjadi sikap saling membanggakan
struktur keturunan hingga mengakibatkan kemandegan diri: berhenti berproses.
Sebaliknya, manusia harus mengawali menciptakan tata turunan baik agar dapat
menjadi teladan bagi generasi selanjutnya.
Maka jika ada jenis
orang yang masih bersikeras menyebut-nyebut kebesaran ayah-ibunya, ada baiknya
kita tengokkan kisah Kan’an di atas. Dengan kesalehan maksimum yang ada, Nuh
masih mendapati putranya menjelma menjadi pribadi durhaka. Lantas bagaimana
dengan ayah kita, yang tak ada keunggulan sama sekali bila dibanding Nabi Nuh?
Lebih lanjut, bila kita sendiri hanya pribadi yang dekat pada keburukan,
seperti apa pula anak-anak kita mendatang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar