Teman saya harus rela kehilangan barang milikinya hanya demi menjaga
gengsi. Seperti ini kisahnya. Awal pekan itu teman saya sedang dalam perjalanan
menuju tempat dimana dia menuntut ilmu. Layaknya anak kos lain, ibunya
membawakannya oleh-oleh untuk teman-teman kos lain. Kebetulan sang ibu hanya
bisa membawakan setandan pisang yang ditaruhnya di dalam sebuah kardus....
Ketika naik bus, suasana sangat sesak hingga sulit untuk bergerak dan
bernafas. Akibatnya pisang yang dibawanya menjadi bonyok. Teman saya itu
pun menyesal tidak dapat menyelamatkan barangnya sendiri. Sesampainya di lokasi
tujuan dia langsung lari. Mengetahui kardusnya tidak dibawa turun, sang
kondektur memanggil dan berteriak, “Mas, pisang kamu ketinggalan, nih!”. Tanpa
pikir panjang teman saya itu menjawab sambil lari meninggalkan bus, “Itu bukan
punyaku, Pak!”
Sebenarnya teman saya menyesal harus meninggalkan pisangnya. Terlebih
pemberian dari orang tua, Bisa kuwalat, katanya. Tapi demi menjaga gengsi, apa
pun dia lakukan. Bahkan jika hanya merelakan setandan pisang. Dia tentu tidak
ingin ditertawakan penumpang lain. Apa lagi ada banyak perempuan di situ.
***
Sebagaimana temanku diatas, kebanyakan manusia masih belum bisa menjadi
diri sendiri dan tampil apa adanya. Ada saja pikiran untuk tampil sempurna di
depan publik. Bangga jika orang-orang menganggap baik dan akan susah jika orang
menertawainya. Kita merasa malu berdiri apa adanya. Lebih suka jika orang
melihat kesempurnaan dalam diri kita. Semua kekurangan dalam diri dianggap
sebagai sesuatu yang menjatuhkan. Apa lagi jika harus menjadi bahan tertawaan.
Andrew Oswald, ahli ekonomi dari University of Warwick, Inggris mengatakan bahwa manusia mempunyai nasib untuk selamanya
membandingkan dirinya dengan orang lain. Mereka tidak akan pernah puas atas apa
yang berlaku padanya. Sebenarnya bila kita mau sedikit berpikir, tentunya kita
sadar bahwa menjaga gengsi, tidak semata berasal dari sebatas kedudukan,
kekayaan, dan kepemilikan barang. Ingat saja, Gus Dur tidak mendapat gengsinya
di restoran-restoran mahal, atau di hotel mewah. Dia justru banyak melewati
hidupnya di warung-warung pinggir jalan dan kasur sederhana. Toh, dia pernah
berhasil menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Penyakit gengsi akan terus melekat dalam diri selama kita tidak menyadari
bahwa semua makhluk di dunia diciptakan sama. Siapa pun itu jika masih
menyandang sebutan manusia, memiliki tempat yang sama di hadapan Tuhan. Hanya
kualitas hati yang menjadi pembeda. Selama hati kita bersih, tidak ada alasan
untuk merubah nasib atau pun penampilan.
Jika kita hanya mampu membeli Hp butut, misalnya, buat apa susah-susah
mencari Blackberry yang pada akhirnya juga menyusahkan diri dengan jalan
hutang. Tentunya kita tidak ingin dilihat baik oleh manusia tetapi di hadapan
Tuhan justru dipandang buruk dan hina. Dan keputusan ada pada diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar