Selasa, 13 Januari 2015

Gengsi, Bro



Teman saya harus rela kehilangan barang milikinya hanya demi menjaga gengsi. Seperti ini kisahnya. Awal pekan itu teman saya sedang dalam perjalanan menuju tempat dimana dia menuntut ilmu. Layaknya anak kos lain, ibunya membawakannya oleh-oleh untuk teman-teman kos lain. Kebetulan sang ibu hanya bisa membawakan setandan pisang yang ditaruhnya di dalam sebuah kardus....
Ketika naik bus, suasana sangat sesak hingga sulit untuk bergerak dan bernafas. Akibatnya pisang yang dibawanya menjadi bonyok. Teman saya itu pun menyesal tidak dapat menyelamatkan barangnya sendiri. Sesampainya di lokasi tujuan dia langsung lari. Mengetahui kardusnya tidak dibawa turun, sang kondektur memanggil dan berteriak, “Mas, pisang kamu ketinggalan, nih!”. Tanpa pikir panjang teman saya itu menjawab sambil lari meninggalkan bus, “Itu bukan punyaku, Pak!”
Sebenarnya teman saya menyesal harus meninggalkan pisangnya. Terlebih pemberian dari orang tua, Bisa kuwalat, katanya. Tapi demi menjaga gengsi, apa pun dia lakukan. Bahkan jika hanya merelakan setandan pisang. Dia tentu tidak ingin ditertawakan penumpang lain. Apa lagi ada banyak perempuan di situ.
***
Sebagaimana temanku diatas, kebanyakan manusia masih belum bisa menjadi diri sendiri dan tampil apa adanya. Ada saja pikiran untuk tampil sempurna di depan publik. Bangga jika orang-orang menganggap baik dan akan susah jika orang menertawainya. Kita merasa malu berdiri apa adanya. Lebih suka jika orang melihat kesempurnaan dalam diri kita. Semua kekurangan dalam diri dianggap sebagai sesuatu yang menjatuhkan. Apa lagi jika harus menjadi bahan tertawaan.
Andrew Oswald, ahli ekonomi dari University of Warwick, Inggris mengatakan bahwa manusia mempunyai nasib untuk selamanya membandingkan dirinya dengan orang lain. Mereka tidak akan pernah puas atas apa yang berlaku padanya. Sebenarnya bila kita mau sedikit berpikir, tentunya kita sadar bahwa menjaga gengsi, tidak semata berasal dari sebatas kedudukan, kekayaan, dan kepemilikan barang. Ingat saja, Gus Dur tidak mendapat gengsinya di restoran-restoran mahal, atau di hotel mewah. Dia justru banyak melewati hidupnya di warung-warung pinggir jalan dan kasur sederhana. Toh, dia pernah berhasil menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Penyakit gengsi akan terus melekat dalam diri selama kita tidak menyadari bahwa semua makhluk di dunia diciptakan sama. Siapa pun itu jika masih menyandang sebutan manusia, memiliki tempat yang sama di hadapan Tuhan. Hanya kualitas hati yang menjadi pembeda. Selama hati kita bersih, tidak ada alasan untuk merubah nasib atau pun penampilan.
Jika kita hanya mampu membeli Hp butut, misalnya, buat apa susah-susah mencari Blackberry yang pada akhirnya juga menyusahkan diri dengan jalan hutang. Tentunya kita tidak ingin dilihat baik oleh manusia tetapi di hadapan Tuhan justru dipandang buruk dan hina. Dan keputusan ada pada diri kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar